Bilur
Selendang bersulam sutra, biduri lembayung jingga...
Saksi mati tuk bersaksi, gelimang pesona diri...
Belia usia dulu, ruap cinta tlah menggebu...
Samar kulihat dunia...tak sadar semua fana...
Sekilas lihatlah mega, anugerah tiada tara...
Ini tak adil untukku, halimun hitam merasuk...
Ceracau getir ibunda, gemertak sengap hatinya...
Firasat tak penah salah...Hanya kuberbuat... Ulah....Sosok wanita ini biasa dipanggil...Mae. Dengan paras yang cukup
cantik, dan talentanya yang luar biasa di dunia tarik suara seni
tradisional, mampu membuat banyak orang berdecak kagum. Pada masanya,
beliau cukup tenar di kalangan seniman tradisional. Tidak ada yang
tahu bagaimana kisah hidupnya, sampai akhirnya ajal menjemputnya
secara tiba-tiba. Dari situ terkuak semua yang pernah terjadi padanya
semasa hidupnya. Ini memang sangat janggal, karena proses menuju
terkuaknya cerita seorang Mae sangat rumit dan tidak masuk akal.
Berdasarkan cerita dari bibir ke bibir, sampailah cerita itu ke
telinga saya. Saat itu juga saya merasa tergugah akan kisah hidupnya
yang pilu. Akhirnya kisah tersebut berujung pada diciptakannya lagu
yang saya dedikasikan untuknya, dengan judul “Bilur”. Bilur dalam
kamus Bahasa Indonesia berarti ‘bengkak kemerah-merahan; bekas
dipukul ’. Dalam lagu yang berjudul “bilur”, saya menganalogikan bilur
pada hati yang berarti luka di dalam hati.
Dalam beberapa bait lirik diatas, tersirat bahwa hidupnya Mae dulu
bergelimang pesona. Dia suka menggunakan selendang dan biduri (batu
permata) pada saat menyanyi diatas panggung. Dulu dia adalah gadis
penurut yang selalu ingin membahagiakan kedua orangtuanya, terlebih
ibunya. Tapi di suatu saat, dia berontak karena tidak mau dikendalikan
terus oleh sang ibu. Ia memilih untuk menomorsatukan perasaannya dan
menikah dengan laki-laki yang menurutnya adalah laki-laki yg dia
cintai. Dia ingat, saat itu sang ibunda sangat menentang keputusannya.
Apa yang menjadi firasat ibunya tidak dihiraukan.Semerbak dupa iringi kumelangkah..
Cungkupku hanya tanah...
Bilur hati merambah...
Akan datangkah bagiku...Kesempatan...
Bila tak ada titian...
Diri yang rupawan...
Bila tak ada titian...Jalan yang....Rupawan...
Lirik ini bermaksud menyiratkan suara hati Mae yang terluka setelah
kematiannya, dimana dia merasa apa yang dia inginkan selama hidupnya
ternyata tidak tercapai dan bahkan berakhir dengan sia-sia. Saat dia
terbangun dan rumahnya kala ini hanyalah tanah. Itu membuatnya semakin
meratapi kenangan semasa hidupnya, dan semakin jauh dia merasakan
keperihan di dalam hatinya.
Kepergiannya memang sangat tiba-tiba, tidak ada yang menyangka apalagi
saat itu dia tengah mengandung delapan bulan. Kejadian demi kejadian
terungkap setelah dia dan janin yang ada di perutnya dikubur bersama.
Sampai pada suatu kejadian dimana rohnya merasuki raga seseorang dan
memberikan sebuah lirik yang berisi cerita kisah hidupnya. Ini
disampaikan kepada seorang teman semasa hidupnya yang kebetulan adalah
seorang pencipta lagu. Liriknya berbahasa sunda. Inti dari lagunya
sendiri berisi tentang rasa sakit yang tak pernah hilang walau dibawa
ke liang lahat dan permohonan maafnya kepada ibu, saudara, dan
teman-teman yang pernah mengenalnya semasa hidup.
Kebetulan, lagu yang berisi lirik buatan Mae dinyanyikan oleh Ambu Ida
Widawati, pengisi lirik bahasa sunda di dalam lagu “Bilur”.Saat menyerahkan lagu “Bilur” kepada Ambu Ida, saya meminta agar
beliau mengisi lirik bahasa sundanya, karena saya kesulitan dalam
membuat lirik bahasa sunda. Dan saya bercerita, kalau lagu bilur ini
saya buat berdasarkan kisah Mae yang pernah saya dengar darinya. Ambu
Ida sangat antusias saat itu, mengingat baru kali pertama untuknya
membuat sebuah kolaborasi dengan musisi non-tradisional, apalagi tema
lagu yang diusung mengangkat kisah hidup seorang penembang yang juga
merupakan sahabatnya. Akhirnya terciptalah lirik bahasa sunda di lagu
“Bilur”:
“Duh, teungteuingeun...tuntung lengkah...geuning...bet peurih...”
Arti dari lirik bahasa sunda ini menerangkan bahwa yang dirasakan Mae
benar-benar menyakitkan. “Akhir langkahku ternyata tetap perih...dan
selalu perih. Menurut saya, walau singkat...tapi lirik ini mengandung
makna sangat kaya yang sangat mewakili perasaan seorang Mae,
berdasarkan cerita demi cerita tentangnya. Lalu saya berkata pada Ambu
Ida, “Ambu...lirik ini benar-benar bagus dan membuat saya
merindiiing!” Kemudian Ambu bercerita kalau sebenarnya dia kesulitansaat mengisi lirik bahasa sunda ini. Tapi kemudian Mae datang
menghampirinya dan memberikan lirik di atas untuk membantu saya
mengisi lagu “Bilur”. Cukup janggal, memang. Tapi seketika itu juga
membuat saya merasa sangat terharu.
“Terimakasih Bu Mae, atas lirik yang indah, dan kisah yang bisa
dijadikan pelajaran untuk siapa saja yang mendengarnya. Saya yakin,
Ibu sekarang sudah jauh lebih tenang dan menemukan kebahagiaan di
sana. Saya akan selalu berusaha mengingat dan mendoakan ibu...” :)
![]() |
mae ? |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar