Laman

Minggu, 10 Maret 2013

Cut and Paste




Aku mulai berteriak histeris...menangis...meraung seperti singa yang

kehilangan anak...di tanganku masih menempel beberapa serpihan cermin
yang berserakan di lantai tepat dibawah kakiku. Selama dua puluh empat
tahun tinggal di rumah orang tuaku, ini adalah cermin kelima yang
telah kupecahkan. Kubanting seketika itu juga saat tak sengaja
memasuki kamar adikku. Mungkin dia akan marah nanti, tapi tak mengapa.
Aku lebih takut melihat cermin daripada semburan kemarahan yang keluar
dari mulutnya. Aku tahu, ibu sudah memperingatkan seisi rumah untuk
tidak menaruh cermin sembarangan, ibu lebih memilih untuk tak
berdandan, ketimbang melihat aku menangis histeris. Tapi adikku adalah
gadis kecil yang tak lama lagi akan bertransformasi menjadi seorang
perempuan, sepertinya dia tidak tahan dengan keabsenan ‘cermin’ dalam
proses perubahannya. Maafkan aku dik, lebih baik kuhadapi tantangan
menceburkan diri kedalam kawah panas dibandingkan jika harus melihat
diriku didepan cermin.
Dulu aku tak begini....hidupku dipenuhi mimpi yang biasa hinggap di
kepala banyak gadis remaja, ingin menjadi ini dan itu. Aku adalah
gadis yang penuh dengan hasrat dan obsesi. Sebagai anak pertama, orang
tuaku memberikan segalanya untuk agar aku bisa meraih mimpi-mimpiku.
Saat aku ingin menjadi pemandu sorak, mereka tak segan men-support-ku
dengan berbagai hal. Saat aku ingin menjadi pemain softball, saat aku
ingin menjadi penyanyi, bahkan saat aku nekad ingin mengikuti
olimpiade matematika, mereka selalu ada di belakangku, mendukungku.
Aku termasuk gadis beruntung, semua keinginanku bisa kuwujudkan.
Mungkin hal inilah yang membuat diriku merasa bahwa aku adalah gadis
yang lebih hebat daripada teman-temanku yang lain.
Aku lebih suka berbicara dengan diriku sendiri, melalui cermin. Di
situ kulihat semua kesempurnaan tentang sosok aku. Aku merasa terbelah
menjadi dua, aku yang ada disini, dan aku yang ada di dalam cermin,
yang seringkali memotivasiku untuk terus bergerak dan bergerak.Kuanggap hanya diriku yang ada di dalam cerminlah satu-satunya orang
yang bisa mengatur hidupku.
Aku tidak percaya pada kata “persahabatan”, kuanggap semua orang yang
berada di dekatku adalah orang-orang yang memang ingin berkenalan
dengan seorang manusia yang unggul sepertiku. Temanku banyak, tapi di
mataku, tidak bisa kulihat ada tulisan “Sahabat” tertulis di dahi
mereka. Aku tidak memiliki pacar, karena di pikiranku, laki-laki yang
mencoba mendekatiku adalah laki-laki yang ingin menjadi terkenal dan
hanya memanfaatkan namaku untuk mencapainya. Aku memiliki rasa curiga
berlebih terhadap orang lain, termasuk pada adikku sendiri. Egois
memang, tapi apa salahnya? Lebih baik curiga ketimbang aku yang
menderita di kemudian hari.
Ada seorang murid pindahan, saat aku masih duduk di bangku sekolah,
seorang laki laki pendiam. Sangat sederhana tapi wajahnya cukup
tampan. Dalam hitungan hari, tiba-tiba dia menjadi seorang sosok idola
di mata teman-temanku. Perhatian padaku mulai teralihkan padanya. Dia
pintar dalam segala bidang, bahkan dia menguasai satu bidang yang
sangat sulit kupelajari, yaitu teater. Pria ini pintar dalam semua
hal, tapi dia bisa menjadi sahabat semua orang, sangat baik hati,
ramah, dan yang sangat aku benci, dia begitu baik terhadapku.
Aku merasa kalah total darinya, harus kulakukan sesuatu untuk
mengalahkan orang ini. Harus. Aku tahu, dibalik kebaikannya, dia pasti
memiliki niat jahat untukku.
Suatu hari, ada sebuah pementasan teater di gedung sekolah, pria yang
menjadi rivalku ini menjadi bintang utamanya. Semua orang antusias
pada acara ini, sedang aku, merasa tenggelam dalam kekalahan. Aku
harus merencanakan sesuatu untuk menggagalkan pementasannya. Hidupku
takkan tenang jika harus melihat orang bersorak sorai mendukung
aksinya. Mulai kurancang aksiku. Aku mendapatkan satu ide ini dari
rekanku, dari diriku yang ada di dalam cermin. Dia sangat
menyemangatiku untuk merencanakan sesuatu berbahaya bagi rivalku ini.Sebelum pentas, kujalankan aksiku, ku potong beberapa tali yang
menggantung diatas panggung, kuhitung dan kuperhitungkan dimana
kira-kira dia akan berdiri dan pada menit keberapa dia akan berada di
sini. Sebelumnya telah ku copy beberapa file dialog teater hari itu.
Aku hanya ingin membuatnya ‘cacat’ sedikit saja, biarkan dia pincang
saja agar tidak bisa menjadi atlet. Setidaknya ada satu bidang yang
membuatku lebih unggul darinya. Semua ide ini kudapat dari diriku yang
ada di dalam cermin.
........
Kesadaranku hilang. Harga diriku jatuh sampai ke dasar muka bumi, saat
rencanaku memang berhasil. Laki laki yang kuanggap adalah saingan
terberatku. Hany, dia tidak hanya cacat. Tapi dia pergi untuk
selamanya. Ternyata aku tidak sepintar itu meramalkan letak jatuhnya
lampu yang harusnya menimpa kakinya. Ternyata aku tidak secerdas itu
mengabaikan kejadian terburuk apa yang akan terjadi padanya. Perangkap
yang kupasang untuknya jatuh tepat diatas kepala, ratusan
teman-temanku yang sedang menonton pertunjukkan teater menjadi saksi
dari hancurnya kepala sang idola. Aku ada disitu, menggigil, tidakmampu berbuat apa-apa. Baru kali ini aku merasa “bersalah”, dan aku
putuskan untuk menghukum diriku sendiri. Tak berani kuungkapkan
kenyataan sebenarnya aku yang berbuat jahat padanya.
“I hear a voices at my back...disturbing peace for my years sake...I
need a rest to hear the air...”
Detik itulah detik dimana aku mulai membenci cermin, berpuluh-puluh
tahun kupercayakan segala keputusan atas perbuatanku pada diriku yang
berada di dalam cermin. Kubiarkan aku yang di dalam cermin terus
menyuruh apa yang harus kulakukan. Aku percaya padanya, tapi untuk
kali ini dia telah membunuhku. Langsung menembak tepat dengan sebuah
peluru nan tajam, meluncur ke dalam otakku. Pada detik itulah, aku mulai menghancurkan semua cermin yang ada di dalam rumahku, detik di

mana aku mulai kehilangan arah dan terus berteriak histeris. Aku
membenci diriku! Sangat benciiii! Aku merasa jijik pada diriku,
seorang wanita penuh hasrat yang rela melakukan apapun demi
menggapainya...aku benci.
“There is a girl with a million lust, she does things to get if fast,
she’s only good in cut and paste...”
Dan aku benci diriku yang ada di dalam cermin! Selama ini aku menurut
pada kehendakmu, kuanggap dirimu sebagai sahabatku. Bagaimana mungkin
ternyata diriku sendiri lah yang mencelakakan aku? Ku anggap kamu
adalah orang lain, walau wajah kita sama, baju kita sama, gaya kita
sama, namun aku tidak pernah begitu percaya terhadap orang lain selain
diriku sendiri dan diriku yang ada di dalam cermin. Seumur hidup aku
akan terus berada di dalam belenggu penyesalan...
Kepada diriku yang ada di dalam cermin, “there is something in your
mind, force my every single line...should i dancing in your
stage....just like your cat in you cage...there is no light there’s
only dark....in your heart i see no art....”
Dan aku mulai memecahkan cermin...meraung-raung memekikkan teriakan
sesal...mengurung diri di dalam kamar kotakku yang lebih menyerupai
sebuah penjara. Tanpa jendela, tanpa cermin. Kugelapkan ruangan ini
dan kututup telingaku

Tidak ada komentar:

Posting Komentar