Karinding lekat
dengan petani Sunda. Alat musik tradisional yang dikategorikan sebagai
permainan rakyat ini, menurut legenda sekitar, sudah ada di tanah Pasundan
sejak 300 tahun lalu. Alat musik ini beruntung masih bisa ditemukan di Kampung
Citamiang, Desa Pasirmukti, Kecamatan Cineam, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa
Barat.
Sekarang,
satu-satunya seniman Karinding yang tersisa adalah Oyon Eno Raharjo. Hingga
sekarang hanya Oyon saja yang bisa memainkan Karinding dengan baik. Secara
turun temurun ilmu permainan Karinding didapatnya dari mendiang Mbah Kaman era
1930-an. Estafet berlanjut ke Murniah di era 1945. Setelah itu diturunkan pada
Oyon pada 1954. Tahun 1966, Oyon mulai membuat grup dan merekrut pemain.
Di masa itu ada empat orang pemain Karinding, yaitu Ki Karna,
Sugandi, Solihin, dan Dudung. Tak cukup dengan grup, Oyon lalu mendirikan
Sanggar Sekar Komara Sunda agar seni tradisional ini tetap lestari. Sanggar
sempat terhenti karena sebagian pemain meninggal dunia. Mulai tahun 2003, usaha
menggeliatkan kesenian Karinding dimulai lagi. Inilah fase kedua kebangkitan
Karinding. Kini sudah ada tujuh orang yang berminat menjadi penerus Oyon.
Karinding di Kampung Citamiang terbuat dari kawung saeran (pohon
aren-red). “Bahannya diambil dari kawung yang sudah tua dan setengah kering, humareupan,karena
bahan yang kering sulit dibentuk,” jelas Oyon. Kawung saeran berbeda dengan
pohon kawung biasa. Pohonnya pendek-pendek dan jarang diambil niranya.
Pembuatan Karinding cukup sulit. Tidak semua orang bisa. Dari lima Karinding
yang dibuat dalam satu hari paling bisa didapatkan satu Karinding yang cocok
dimainkan.
“Cara buatnya lumayan lama.Enaunya dikeringkan dulu lalu dibelah,
kulit luarnya jangan dibuang sampai tebal 5 cm ke dalam daging enau. Keringkan
dulu, bisa sampai 2 minggu, “ papar Sule, aktivis budaya Sunda.
Karinding tidak bisa dibuat dengan kawung basah, karena saat
kering kawung akan cekung dan tidak berbunyi. “Alat yang digunakan yaitu, peso
raut, bedog, peso leutik yang tajam untuk membuat buntut lisa,” tambah Oyon.
Rentang antara bagian pahul dan buntut sejarak dua jari orang dewasa (jari
telunjuk dan jari tengah) dan untuk buntut lisa cukup seukuran jari telunjuk
saja. Proses pembuatan yang rumit menyebabkan alat musik ini semakin jarang
ditemui.
Menurut Sule, pembina Sanggar Awi Hideng, pembuat karinding
terakhir adalah almarhum Ki Karna. Ki Karna tutup usia tahun 2005, tepat
setelah festival musik tradisional di Bandung. Dua tahun setelah Ki Karna
meninggal, belum ditemukan lagi orang yang bisa membuat karinding.
Setelah ditelusuri ke desa asal berkembangnya Karinding, Desa
Cikondang, Kecamatan Cineam, ternyata masih ada yang bisa membuat Karinding.
”Namanya Mamad, umurnya sekitar 35 tahun. dia lahir di Cikondang. Kakeknya
masih menyimpan Karinding,” tandas Sule coba mengingat-ingat.
Dahulu di Cikondang ada semacam keyakinan, Karinding adalah alat
individual yang digunakan sebagai alat komunikasi antar remaja. Dari sana
diketahui, bahwa orang dari Cikondang bisa memainkan Karinding. Di Cikondang,
main karinding ibarat loncat batu di Nias, kalau sudah bisa main karinding berarti
dia sudah dewasa dan boleh menikah.
Gianjar, peneliti karinding dari Komunitas Kabumi Universitas
Pendidikan Indonesia (UPI), memaparkan sebenarnya Karinding ada dimana mana.
Bahannya ada yang dari kawung dan bambu. ” Kalau yang dari bambu biasanya khas
dari Garut, nah kalau yang dari kawung ini yang khas Cineam. Ada juga yang
mengatakan lagi kalau yang kawung ini untuk cowok, dan yang bambu untuk cewek,”
tambah pria yang juga perajin pisau ini.
Hanya satu kunci nada yang bisa dimainkan Karinding. Oleh karena
itu, Karinding mesti dipadukan dengan alat-alat musik tradisional (seperti
angklung dan celempungan) untuk menghasilkan harmonisasi nada. Nada Karinding
sangat ringan dan rendah. Memiliki empat bagian, yaitu bagian jarum tempat
keluarnya nada yang disebut buntut lisa, lalu buntut sebagai pegangan. Bagian
tengah yang disebut pahul berfungsi untuk mempercepat getaran dan bagian ujung
yang disebut hulu sebagai sumber getaran. Hulu jika dipukul oleh tangan akan
menggerakan buntut lisa. Sim salabim, keluarlah nada dari alat Karinding.
Soal bunyi dari bahan bambu dan kawung tentu saja berbeda. Sule
berpendapat bunyi Karinding bambu lebih keras dari Karinding kawung. Karinding
bambu dimainkan dengan cara dipetik tetapi sedangkan karinding kawung disentir
(dipukul-red) sehingga lebih nyaring. Untuk perawatan biasa menggunakan kemiri
yang dihaluskan, lalu dioles ke serat buntut lisa. Kalau buntut lisa menurun,
harus diangkat lalu dioleskan minyak kemiri. Menyimpannya pun tak bisa
sembarangan. Supaya suara tetap bening, buntut dilubangi dan diberi tali lalu
digantung di atas tungku.
“Karinding harus sering dipanaskan. Pengeringan tidak dijemur di
bawah matahari karena suara akan tidak nyaring. Tapi diikat dengan seutas tali
dan dikeringkan di atas tungku, diunun na luhur hawu,” papar Oyon. Jelas
saja, jika semakin hitam Karinding maka semakin tua pula umurnya.
Uniknya, sampai sekarang, pemain Karinding harus handal mengatur
pernafasan dan pandai mengolah nada. Karinding tidak seperti alat musik lain
yang memiliki ketukan tertentu. ”Karena karinding terdapat dua suara. Saat
dimainkan berbeda, saat menggunakan resonansi tenggorokan, ditarik, hasilnya
beda,” tutur Oyon.
Sule menambahkan, kunci untuk menghasilkan suara pada karinding,
terletak pada lokbangkong (amandel-red).
“Karindingnya sendiri sudah menghasilkan suara. Kemudian karena lokbangkong-nya
membesar dan mengecil, maka nada yang dihasilkan pun ada nada tinggi dan ada
nada rendah.“
Lagu yang dimainkan dapat berupa lagu khusus maupun sederhana,
biasanya ditambahi syair dan pantun. Lagu-lagunya antara lain Rayak-Rayak, Nanyaan (melamar
istri), Megapudar, Sieuh-Sieuh, Jeung Jae,
dan Karinding.
Bagi masyarakat Sunda, khususnya petani, Karinding memiliki peran
penting. ”Pada jaman dahulu para petani biasa menunggui sawah dengan mengusir
hama. Salah satunya dengan Karinding itu,” jelas Oyon.
“Tapi ada lagu yang tidak boleh dimainkan malam hari, karena bisa
mendatangkan orang hutan,” tambah pria kelahiran Tasikmalaya, 12 Maret enam
puluh tujuh tahun yang lalu. Lagu Dengkleng tabu dimainkan dengan
Karinding pada malam hari, karena menurut mitos lokal bisa mendatangkan macan
Siliwangi.
Asal mula karinding sendiri masih menjadi pertanyaan. “Orang yang
disini tau bahwa yang membuat karinding ini adalah seorang pangeran, yakni
Kalamanda,” tutur Sule. Pangeran Kalamanda ini dipercaya membuat alat musik
yang mirip dengan hewan yang disebut kakarindingan, untuk menarik perhatian
lawan jenis.
Namun setelah dilacak, Sule mengatakan asal-muasal Karinding
tertulis dalam naskah Sunda yang paling tua, Siksakandang Karsian. “Alat alat
seperti angklung, kujang, karinding dan lain lain sudah ada ditulis disitu pada
zaman didirikannya kerajaan Padjajaran.”
Berdasarkan Kamus Ensiklopedi Sunda, alat musik tradisional
Karinding ternyata lahir karena cinta. Konon, Kalamanda jatuh hati setengah
mati kepada seorang putri menak, Sekarwati. Ketika itu, orang tua si remaja
putri yang dari kalangan bangsawan memagari ketat anaknya. Mereka dipinggit.
Kalamanda gelisah. Sudah sekian lama ia memendam rasa cintanya
kepada Sekarwati. Akhirnya terbetik dalam benaknya membuat alat untuk
berkomunikasi. Dari pelepah nira atau kawung, Kalamanda membuat sebuah waditra, yang
kini dikenal dengan nama Karinding.
Alunan suara yang dihasilkan dari getaran sembilu kawung yang
pipih itu mampu merasuk sukma Sekarwati. Akhirnya Kalamanda pun bersanding
dengan gadis idamannya itu. Kalamanda menamai alat ciptaannya itu sekenanya
saja, yakni Karinding. Wilayah Cineam ketika itu masih berupa rawa-rawa.
Di lingkungan seperti itu, hidup binatang sawah kakarindingan.
Masyarakat di sekitar pesawahan menyukai binatang itu karena bentuknya lucu.
Tentu saja sang gadis pujaan termasuk yang menyenanginya juga. Dengan spontan,
Kalamanda menyebut alat musik yang dibuatnya dengan Karinding. Para pemuda lalu
mengikuti jejak Kalamanda.
Yang menjadi khas adalah tiap karinding tidak bisa sama
resonansinya, ”Jadi kalau misalnya kita buka pintu jadi si wanita sudah tau
pasangannya dari suara dari cara mukulnya sudah tau,” papar Sule. Kini,
binatang itu kini sudah tak tampak lagi. Yang membuat kita miris adalah
anak-anak muda sekarang, sudah tak mengenal wujud binatang itu. Bahkan, nama
seni Karinding pun masih terdengar asing.
Oyon menjelaskan, karinding di jaman sekarang memiliki dua buntut
lisa, berbeda dengan karinding di jaman Kalamanda. ”Asal mulanya, buntut lisa
satu, mengikuti bentuk kakarindingan.”
Saat ini
Karinding bukan lagi alat musik yang fungsinya sebatas untuk mengusir hama,
atau pemikat hati wanita tapi sudah menjadi bagian dari alat musik masyarakat
sunda, walaupun masih terkesan eksklusif. Karinding hanya tampil di acara
tertentu saja. Semisal acara di malam bulan purnama atau jika ada panggilan
dari birokrat. Terlepas dari itu, tidak banyak yang tahu bahwa Karinding sudah
menjadi salah satu koleksi museum di Jepang, sementara di negeri sendiri
keberadaannya masih belum dilirik.